Berusaha Menjadi Lebih Baik

Friday, September 28, 2007

Belajar menulis melalui pelajaran sejarah

Belajar Menulis Sejarah dengan Autobiografi
Oleh Yayan Syalviana

Kegiatan yang bermuatan ”life skills” perlu banyak pengembangan, inovasi, dan bumbu kreativitas lain. Ada beberapa siswa yang memunculkan kalender pada saat ia dilahirkan atau catatan kelahiran dari dokter/bidan.

Salah seorang siswa menulis, "Entah dorongan apa, tiba-tiba aku terenyak, sesuatu yang mengganggu, rasanya ingin kutendang dinding hitam itu dengan segenap ragaku. Walaupun hanya satu kaki yang terbebas, aku bersyukur, tapi rikuh sekali di luar (badanku masih di dalam). Tampaknya aku lahir tak seperti biasanya. Aku tak tahu siapa di samping wanita ini, isaknya sangat mendalam, pasrah terhadap kehendak Tuhan. Inilah aku, meskipun tak wajar, aku lahir tanpa cacat. Bergemalah suara azan di telingaku, aku hidup. Kubuka mata yang selalu tertutup, aku menangis tak kunjung henti sampai badanku bersih, bibirku tertutup kembali...”

Siswa lain menulis, ”Ceritanya, ibuku merasakan sakit pada perutnya karena si bayi menendang-nendang minta keluar, ingin menghirup udara segar. Aku tidak diberi tahu bagaimana ibuku menjerit-jerit menahan rasa sakit ketika melahirkan tubuh kecilku saat itu. Dapat dibayangkan ibuku merasakan sakit yang berkepanjangan. Sampai pada saat-saat yang menegangkan, lahirlah aku, bayi mungil yang tidak tahu apa yang akan terjadi, bayi mungil yang sudah ditetapkan takdirnya oleh Sang Maha Pencipta, yang dengan kerelaan hati lahir dengan lancarnya...”

Saat membaca potongan tulisan tersebut, banyak yang menduga tulisan tersebut adalah karya siswa untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Pada kenyataannya, karya-karya tersebut dihasilkan melalui mata pelajaran sejarah. Mengapa demikian?

Setiap memulai pertemuan pertama pelajaran sejarah di suatu kelas pada awal tahun pelajaran, penulis sering melontarkan pertanyaan, "Apa yang kalian rasakan tentang pelajaran sejarah selama ini? Silakan jawab yang jujur, saya siap menerima jawaban terburuk sekalipun." Jawaban yang dihasilkan hampir sama dari tahun ke tahun dan di kelas mana pun. Survei lisan tersebut menunjukkan, banyak siswa beranggapan bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran yang kurang menarik, membosankan, terlalu hafalan, dan terlalu banyak tanggal, tempat, serta nama yang harus diingat. Dan ternyata sedikit siswa yang mengatakan bahwa sejarah adalah pelajaran yang menarik dan menyenangkan serta menantang.

Kurikulum berbasis kompetensi (Kurikulum 2004) pada mata pelajaran sejarah memberikan hal yang tidak ada pada kurikulum sebelumnya, yaitu perlunya siswa belajar tentang keilmuan sejarah. Merespons hal tersebut, penulis mencoba melakukan sesuatu yang belum pernah penulis lakukan sebelumnya.

Untuk penelitian sejarah, siswa belajar tentang konsep heuristik (mengumpulkan sumber-sumber seperti benda, tulisan, dan lisan), kritik (memeriksa kebenaran sumber-sumber yang telah dikumpulkan), interpretasi (menyusun suatu kisah sejarah berdasarkan sumber-sumber yang telah diperiksa kebenaranya secara kronologis), dan historiografi (menuliskan kisah sejarah tersebut). Agar siswa lebih memahami teori/konsep tersebut, siswa secara individual diajak membuat autobiografi masa balita. Sebagai karya sejarah, siswa juga diharapkan melengkapi tulisannya dengan bukti-bukti sejarah.

Masa balita dipilih karena merupakan masa yang sulit diingat oleh sebagian besar kita, sehingga untuk menuliskannya, siswa harus terlibat dalam penelitian sejarah secara sederhana, minimal wawancara dengan orang tuanya dan mengungkapkan sumber-sumber pendukung.
Hasilnya luar biasa. Kemampuan menulis para siswa ternyata tak bisa dipandang enteng, dengan menggunakan gaya bahasa yang variatif, bahkan ada yang menggunakan kutipan-kutipan bahasa Inggris. Banyak foto ditampilkan, bahkan beberapa siswa melampirkan bukti fisik berupa baju bayi, popok, topi, selimut, surat kelahiran, piagam dan berbagai dokumen waktu TK (buku laporan, dan sebagainya).

Semua orang dapat belajar dan menggali informasi dari karya siswa tersebut. Guru bahasa Indonesia, wali kelas, guru bimbingan karier, kesiswaan, atau siapa pun yang berkepentingan dengan siswa dapat menjadikannya sebagai salah satu referensi. Siswa lain dapat membaca kisah temannya, dapat meniru cara penulisan kisah temannya, bahkan dapat membuat kisah yang lebih baik. ***

Tulisan ini pernah dimuat pada Rubrik Forum Guru
Harian Umum Pikiran Rakyat tanggal 25 September 2007

Labels:

2 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home